Berguru pada Edelweis


Edelweis, sebuah bunga yang tumbuh di ketinggian, daerah yang sering kali tandus pada sebuah gunung. Spesies bunga langka ini sering kali diidentikkan dengan keabadian. Seorang kekasih acap kali menghadiahkan bunga ini kepada pasangannya untuk menunjukkan (katanya) keabadian cintanya. Entah kesungguhan, entah kegombalan, hanya Tuhan dan dirinya yang tahu.

Pada waktu sekolah dulu, beberapa orang teman yang pernah mendaki gunung memamerkan bunga ini pada saya. Sekedar pamer tentu, kala diminta ada saja alasan untuk menolaknya. Entah bunga yang sukar didapat atau kepunyaannya hanya sedikit. Bilang saja pelit, ha ha ha.

Tumbuh di ketinggian dan bebatuan menyebabkan edelweis harus bisa bertahan hidup dengan air yang minim. Sedikitnya kandungan air bunga ini menyebabkan dia seolah tidak layu. Pada bunga umumnya, yang selalu mendapat pasokan air yang berlimpah, berkurangnya kandungan air ini menyebabkan bunga layu. Berbanding terbalik dengan edelweis yang memang sedikit sekali kandungan airnya, sehingga bunga ini seolah tidak mengalami layu.

Kondisi alam yang membentuk edelweis hingga bisa bertahan hidup ditengah minimnya sumber daya, membuat edelweis mampu bertahan pula ketika tercerabut dari tempat asalnya dan terus bertahan.

Begitupun kehidupan kita. Kemudahan kadang kala membuat seseorang terbuai, kemudahan yang ada membuatnya lupa meningkatkan kualitas hidupnya. Sering kali kemudahan, yang tiba-tiba hilang ketika dia masuk pada kehidupan yang sesungguhnya, membuatnya tidak mampu bertahan mengarungi tantangan yang ada. Layu seketika.

Seorang teman memberikan pelajaran hidup ini pada saya. Kemudahan ataupun keistimewaan tidaklah selalu baik. Ketika kita gagal beradaptasi pada dunia nyata, mahal harga yang harus dibayar.

Beberapa orang teman pernah bekerja pada tempat yang sama. Salah satu dari mereka mendapat keistimewaan yang terkadang membuat iri. Tapi toh hidup harus terus berjalan. Tiada guna meratapi perbedaan yang terjadi. Yang penting, melakukan yang terbaik semampunya, begitulah pemikiran teman yang seorang lagi hingga akhirnya tiba masa untuk mandiri.

Waktu itu ada beberapa yang serentak keluar dari pekerjaanya, mencoba peruntungan sendiri. Berselang berapa lama, tampak perbedaan diantara mereka. Ada yang masih bisa bertahan walaupun terseok-seok, ada yang berada di bibir jurang, tinggal melompat.

Waktu terus bergulir. Jelas sudah hasilnya. Anak istimewa terlempar dari peredaran. Bukan hanya sekadar gulung tikar, tikar yang bisa digulungpun tak ada.

Itulah kehidupan, dimana kemudahan bisa menjadi bumerang. Bukan anti akan kemudahan, tapi sikapilah kemudahan itu pada tempatnya. Jangan sampai kemudahan hari ini menjerumuskan kita hari esok.

Begitu pula kesusahan, tidak usahlah dijadikan alasan penghambat kemajuan. Sesuatu yang dibangun dengan susah payah biasanya akan hancur dengan susah payah pula.

Sebagaimana sekuntum edelweis yang bertahan hidup di atas gunung diantara bebatuan dengan air yang minim. Kesusahan ini memebentuk edelweis menjadi bunga yang tak layu ketika dipindahkan dari asalnya. Walaupun tercerabut dari akarnya, walaupun jauh jarak dari asalnya, edelweis tetap bertahan dan tak menjadi layu.

Oleh karena itu bersikaplah bijak pada kemudahan, karena kemudahan kerap kali melenakan.

1 komentar:

lili setiawan mengatakan...

Nice posting teman....

Ada benarnya judul pada posting ini sebab bunga edelweis yang bisa tumbuh & hidup di alam liar yang sangat ekstrim dapat di contoh oleh manusia yang sering kali mendapat cobaan berupakesulitan hidup.

Namun, apabila seseorang bisa seperti setegar bunga edelweis dalam menghadapi segala kesulitan,kekurangan,dan keterbatasan hidup dan Dia akan berubah menjadi sosok yang tegar dalam menghadapi semua cobaan hidup maka Dia sesungguhnya akan keluar sebagai pemenang sejati dalam kehidupan...

Di tunggu kungjungan baliknya teman...jangan lupa komentarnya...terimakasih :)

Posting Komentar

Visitors

Banner