Catatan Harian Seorang Pemulung

Jakarta, terlalu pagi engkau menyapaku. Dengan embun menggantung yang enggan turun. Seolah tak tahu harapan pucuk daun yang telah lama menengadah. Menunggu mandi dengan tetesan lembut embun berkerumun. Matahari pun mengintip sayu dibalik menara. Hanya memincing, seolah enggan menatap wajah kota yang keras dan beringas. Kota yang belumur pupur asap putih, dan tak jarang hitam bak jelaga.

Pagi ini tak kulihat rimbunan pohon berdaun kaca. Burung gereja pun enggan datang karena tahu tak dapat berkaca di daun-daun yang biasanya basah itu. Aku tak perduli dengan tatap heran sang burung gereja, gerobak yang tak lagi kotak ku hela pelan bertandang ke rumah kawan-kawanku yang lain, lalat-lalat hitam yang tengah berpesta berebut bangkai.

Jakarta, terlalu lama kau tak beranjak sore. Terik tak lagi terasa panas, hujan tak lagi mampu membasahi raga berkeringat yang tertutup debu-debu kota yang hitam. Tak kuperdulikan lagi tatapan heran lalat-lalat hitam yang tengah membersihkan mulutnya dari serpihan bangkai, aku seret gerobak dengan tergesa. Berharap musuh bebuyutanku, sang banjir terlambat datang. Bila dia datang mendahuluiku, musnah sudah harapanku bersama larutnya plastik-plastik ke arah sungai yang deras.

Jakarta, terlalu larut engkau terjaga. Dengan hiruk pikuk suara mesin-mesin bernyawa yang bernama manusia. Dengan ribuan kunang-kunang kota yang tak berkedip. Dengan guguran sayap laron-laron yang berterbangan. Persis daun-daun kering kecoklatan yang runtuh dimusim gugur.

Disini, di bawah lengan gerobak aku duduk tunduk telungkup. Kedua lenganku kulipat rapat-rapat untuk menutup mata yang tak kunjung terpejam. Aku tertunduk bukan karena tak bernyali, aku sudah bosan menengadahkan wajah menghadang apapun tantangan yang datang. Aku tersudut bukan karena kalah, aku sudah jengah dan lelah bergelut dengan waktu dan debu. Aku pejamkan mata bukan karena takut seperti pengecut, tapi aku malu dengan bayangan yang seharian menemaniku. Sepertinya dia mencibirku dengan doanya “Ya Tuhanku, aku telah lelah puluhan tahun menemani pemulung ini berjalan, tak ada guna dan tak ada yang kudapat selain hanya untuk menuruti takdir yang telah Engkau tetapkan untukku!”

Sumber

10 komentar:

mimme mengatakan...

Setiap hari bertemu pemulung jadi terharu, walau bagaimanapun pemulung tetap pekerjaan mulia

el.sa mengatakan...

pemulung adalah pekerjaan mulia. Jasa mereka terhadap lingkungan sungguh besar.

fiettria mengatakan...

Tanpa tk. Sampah, pemulung dsb yg berurusan dengan sampah saya pastikan kehidupan yg normal menjadi gak karuan. Jalan jadi gunung sampah, halaman rumah jadi kuburan sampah kalau masih ada tanah tersisa. Gak usah lama-lama seminggu saja tdk ada aktifitas pengangkutan sampah akan ribet jadinya.

alpinz mengatakan...

bukankah kita memilih pekerjaan karena kita sanggup melakukannya..

dhanasty mengatakan...

inspiratif bagi kita semua :)

anastasya. mengatakan...

Salah satu kehidupan penghuni Jakarta yang telewat dari perhatian Pemerintah, kehidupan mereka bukannya takdir hanya mereka tidak ada pilihan lain untuk bisa menyambung hidup di kota besar dimana rasa kepedulian thd sesama telah berkurang :(

az mengatakan...

terharu banget denger liat pemulung ini gan........ hasil yang tak imbang dengan tenaga yang di keluarkan.... hemm...

Anonim mengatakan...

gak usah lebay ampe terharu gitu dunkzzzz! talkless do more!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Meriahkan Pesta Ulang Tahun mengatakan...

kisah inspirasi yg bermanfaat...

beStrong :) mengatakan...

sangat inspiratif.
salam.
-hana

Posting Komentar

Visitors

Banner